Cerita Tentang Perempuan (Review Buku plus Curhat Colongan)

Hi! Ga terasa udah bulan Mei di tahun 2019 dan baru tersadar kalau ternyata sudah lama tidak menulis random di blog ini 🤭 Apa Kabar? I hope  that you're doing well and enjoying everything that you're up to 😊 I'm currently moving and living in Sumba right now, everything seems so strange at first but lately it feels pretty good and i'm enjoying every bits of Sumba living (I'll tell you later about Sumba and what i'm up to here in the island, wait for my next post 😉)

Akhirnya selesai juga menuntaskan hutang baca buku bulan lalu, A Thousand Splendid Sun karangan Khaled Hosseini yang awalnya sempat kuanggap kurang menarik. 


Bukan bermaksud membanding-bandingkan karyanya tapi buku pertamanya “Kite Runner” cukup membekas di ingatan. ATSS punya cerita yang jauh berbeda dibanding KR, masih berlatar cerita seputar Afghanistan dan Asia Tengah tapi uniknya di buku ini Khaled Hosseini berfokus pada cerita tentang 3 Perempuan dengan jalan hidup teramat menyedihkan. 

Berbeda dengan Kite Runner dimana hampir keseluruhan tokoh yang diceritakan adalah laki-laki dengan plot dan twist yang cukup menarik, ATSS disajikan dalam bentuk lebih sederhana tapi (menurutku) tidak kalah bermakna. 250an halaman dengan pace cerita yang cukup lambat di awal hingga tengah buku kemudian dilanjutkan dengan cerita yang terasa begitu cepat dan menyayat perasaan. 

Seorang perempuan bernama Maryam lahir dari Nana (Ibu) yang merupakan simpanan seorang kaya bernama Jalil. Sejak kecil Maryam sudah terbiasa disebut Harami atau anak haram oleh ibunya. Ibu kandungnya? Yass, ibu kandungnya sendiri yang selalu memanggilnya dengan sebutan Harami. Maryam ibarat tempat pelampiasan kekecewaan Nana yang tak pernah diakui oleh Jalil. Tiap hari Nana secara langsung menggambarkan sosok Jalil sebagai pria yang tak punya hati, pria yang kejam, pria yang takkan pernah sekalipun mengakui Nana dan Maryam. Semua personifikasi Jalil yang dilontarkan Nana ternyata tak dirasakan sama oleh Maryam, Jalil selalu mengunjunginya, menemaninya bermain, memberinya beragam mainan. Jalil cukup menjadi “Ayah” bagi Maryam, semua permintaannya diberikan oleh Jalil kecuali satu hal yakni keinginannya untuk dibawa ke kota merasakan istana Jalil. Dalam banyaknya usaha Nana membuat Maryam membenci Jalil, ia menghabiskan hari-hari bersama Maryam dalam kemarahan dan kebencian. Lantas apakah mungkin seorang ibu tidak punya sedikit cinta untuk anak kandung yang keluar dari rahimnya sendiri? 

Dari buku ini pembaca diingatkan sekalipun Ibu kandung tidak punya cinta seluas samudera tapi cinta itu selalu ada, sedikit banyak disajikan dalam beragam bentuk yang tak semuanya bisa ditunjukkan secara nyata. Cinta yang besar yang Nana punya ingin ia tunjukkan pada Maryam, tapi sayang sungguh terlambat dan dengan cara yang (menurutku) salah. Aku sempat bingung dan bertanya dalam hati mengapa cinta justru mengancam dan mengintimidasi? Ketika keinginan Maryam untuk berkunjung ke rumah Jalil sudah tak terbendung lagi, iapun memberanikan diri untuk pergi dan meminta izin pada Nana. Larangan, makian tentu saja keluar dari mulut Nana tapi tak satupun membuat Maryam bergeming. Ia melarikan diri meski Nana mengancam akan ada petaka yang terjadi bila Maryam pergi. Maryam pergi dengan sejuta imajinasi akan sambutan dan indahnya hidup di Istana Jalil, sesampainya di kota yang justru ia dapatkan adalah kenyataan bahwa ia tak diakui bahkan Jalil bersembunyi agar tak berjumpa dengannya. Kecewa mengetahui bahwa Jalil selama ini hanya berkamuflase, Maryam pun kembali ke kampung dengan harapan meminta maaf pada ibunya. Belum sampai di rumah, Ia sudah melihat ibunya gantung diri di dahan pohon. 

Itu baru satu cerita awal ratapan kehidupan Maryam. Setelah Nana meninggal secara mengejutkan Jalil datang dan singkat cerita Maryam tak punya pilihan selain pasrah dibawa oleh Jalil. Masih meratap beberapa hari di Istana Jalil, Maryam akhirnya dipaksa menikah dengan duda berusia 40 tahun dengan alasan agar ada yang menjamin hidupnya, agar ia tak dianggap sebagai benalu bagi orang lain, dan sudah selayaknya gadis 15 tahun menikah dan tidak boleh menolak pernikahan yang sudah direncanakan demi "kebaikannya”. 

Apa cerita seorang perempuan berusia 15 tahun dinikahkan dengan pria usia 40 tahun yang kemudian tinggal di masa perang Taliban di Afghanistan? Terlalu sedih untuk disebut Perempuan. Dipaksa memakai sesuatu yang tak diingininya dengan alasan agar tak ada yang mengganggu. Dipaksa untuk tinggal di rumah dan hanya boleh keluar bersama suaminya. Dipaksa berhubungan badan dengan alasan memang sudah seharusnya dan sewajarnya. Ya mungkin beberapa orang akan berpendapat “ya emang gitu lah kan tinggal di negara itu, kan dia harus tunduk sama suaminya, itu kan settingan jaman dulu jaman perang ya harus mau dong kan demi keamanan dia” and whatsoever you may say. I’m not a feminist or other woman blabers, i just share what inside my thoughts, random tapi aku pengen cerita. Gimana dong?

Lanjut cerita tentang Maryam, setelah beberapa tahun hidup bersama Rasheed suaminya, akhirnya tiba waktu bagi maryam merasakan yang namanya “hamil” Rasheed yang tak banyak omong berubah menjadi pria penuh kegembiraan yang meluap-luap. Ia berimajinasi kalau akan segera hadir bocah lelaki kecil yang akan menjadi penerusnya (iya dia yakin penuh anaknya laki tanpa tau kalo Cuma USG yang bisa ngintipin kelamin anaknya, itu juga kalo gambarannya jelas) Imajinasinya mungkin lahir karena kenyataan kalau di negaranya (atau bahkan dimana-mana) anak lelakilah yang kehadirannya signifikan di keluarga. Alih-alih lahir anak lelaki, anak perempuan pun tidak lahir alias Maryam mengalami keguguran bahkan sampai lebih dari 2 kali. Harami atau Istilah Haram itu kembali diucapkan Rasheed kepada Maryam karena ia dianggap tidak bermanfaat dan membawa malu karenakare bisa memberi keturunan baginya. Oke yang ini cukup klasik lagi yaa.. ga cuma di cerita buku aja, sampai hari ini pun ga sulit menemukan banyaknya episode cerita “mempersalahkan perempuan 101” karena tidak bisa memberi keturunan. Aku ga bakal membahas ini lebih lanjut, selain karena aku belum menikah, aku merasa ga secanggih itu  plus males untuk bikin cerdas manusia-manusia yang masih suka playing victim tiap ada kasus infertil alias kemandulan. 

Seperti biasa di cerita-cerita sinetron, istri “ga bermanfaat” akan dikucilkan, diasingkan hingga akhirnya datanglah hari dimana bibit “Istri kedua” ditemukan oleh Suaminya. Laila, perempuan usia 13 tahun yang mungkin baru menarche atau bahkan belum, ditemukan Rasheed di dalam reruntuhan gedung akibat perang bom Mujahideen. Berbekal iba dan peduli akan keselamatan Laila akhirnya ia dipelihara oleh Rasheed dan Maryam, usianya jauh lebih cocok untuk menjadi anak Rasheed dan Maryam tapi ternyata takdir berkata lain, Rasheed meminta “izin” Maryam untuk menikahi Laila dengan alasan “tidak baik ada perempuan muda yang bukan saudara tinggal di dalam rumah” Oh man! *cukup pikirkan sendiri*

Laila mau ga sama Rasheed? Btw, Laila saat itu ternyata sudah dihamili lebih dulu oleh Tariq, sahabatnya yang mau “bertanggung jawab” dan akan menikahinya seandainya bom tidak jatuh di kota saat itu. Nasib berkata lain, Laila tak bisa dan tak akan pernah bisa lagi bertemu Tariq. Laila tentu tidak mau dipaksa menikah dengan pria tua berusia 50an tahun tapi lagi-lagi “Emang dia punya pilihan?” Mau balas budi udah ditolong tapi kok ya mesti dipaksa nikah, mau melarikan diri tapi kemana? Di luar penuh dengan banyaknya ancaman pembunuhan, pemerkosaan dan sebagainya. Lagi-lagi perempuan dipaksa membuat pilihan, menikah karena situasi. Okelah ga punya pilihan lain, tapi gimana dengan istri pertamanya? Gimana dengan bayi di perut? Kalau ketahuan gimana? Mungkin itu yang terlintas di kepala Laila sampai akhirnya dia dipaksa menikah dan diberi cincin nikah yang ternyata punya Maryam! Apa Maryam setuju? Tentu tidak boss. Tapi lagi-lagi perempuan ga punya pilihan saat sudah terlontar kata-kata “istri harus tunduk, ini demi kebaikan menyelamatkan orang lain, ayahmu saja bahkan beristri lebih dari tiga” Permakluman dipaksakan.

Singkat cerita (daritadi ga singkat-singkat wkwk) Laila pun hamil, ya emang hamil tapi bukan anaknya Rasheed. Gimana caranya Rasheed ga curiga kalo yang dia nikahi bukan virgin (dan udah hamil) padahal kan virginitas adalah koentji bagi jiwa-jiwa seperti Rasheed. Oh ternyata Laila cukup cerdas (ya katakanlah cerdas) mungkin selama ini dia sudah mengetahui doktrin bahwa perempuan virgin “hanya bisa terbukti” bila keluar darah dari kemaluan post koitus (duh seandainya mereka pernah ikut kelas anatomi saluran reproduksi atau pernah ikutan visum forensik persetubuhan, tapi yaudahlaya ga usa dibahas toh elmu yang beredar sekarang juga masih kaya begono. hufft). Rasheed ditipu dengan darah di tempat tidur yang ternyata berasal dari sayatan tangan Laila. Yass Laila menyayat tangannya demi torehan darah “virgin” dan Rasheed pun tertipu (kurang cerdas ya). Setelah 9 bulan ibu mengandung, akhirnya tiba waktu untuk bersalin. Lahirlah seorang anak.... Perempuan! Namanya Aziza, sudah pasti Rasheed tidak hepi boss. Dia kan maunya cuma laki-laki. Lah ini uda istri kedua tetap aja ga dapat laki-laki. Laila disiksa ga kayak Maryam? Hmm bisa dibilang iya tapi ga semenyedihkan Maryam lah. Aziza dianggap gak? Tentu tidak. Bahkan tiap Aziza menangis yang keluar hanyalah perkataan kasar dari mulut Rasheed. Lagi-lagi perempuan ga dianggap. 

Laila tetap menjalani hidupnya bersama Aziza dan Maryam di satu atap yang sama. Maryam yang tadinya sangat membenci Laila karena “merebut” Rasheed darinya berangsur melembut setelah melihat Aziza yang manis dan ntah kenapa seolah menawar luka hati dan perihnya sakit hati sejak terakhir kali ia tak dianggap karena tak bisa memberi keturunan. Perlahan Laila dan maryam mulai berkomunikasi, semuanya berkat Aziza, perempuan kecil yang tak tau apa-apa. Maryam dan Laila mulai saling memahami luka masing-masing, mereka mulai menyadari kalau mereka berdua terjebak dalam alasan yang sama yakni “tak punya pilihan”. Maryam berusia 40 tahunan dan sungguh terlihat seperti ibu dari Laila dan nenek dari Aziza. Hari-hari mereka lalui bersama dengan siksaan verbal Rasheed, tak mengeluh sedikitpun hingga akhirnya muncul ide dari Laila untuk melarikan diri bersama Maryam dan Aziza. Mereka berencana pergi ke Pakistan menyamar sebagai imigran perang pencari suaka. Akan tetapi semuanya tak berjalan seperti impian, mereka justru ketahuan berbohong dan menyamar hingga akhirnya Rasheed tau dan memberi “pelajaran” bagi mereka berdua. Dipukul? Sudah pasti. Dikunci di ruangan berhari-hari hingga ketiganya lemas tak berdaya.  Perjalanan panjang penderitaan mereka berujung dalam kenyataan bahwa butuh lebih dari sekedar pengorbanan untuk sebuah akhir yang sedikit lebih bahagia.

Tulisan dr.Khaled ternyata masih sangat relevan dengan kehidupan perempuan sekarang. Bersyukur karena banyak perempuan kini sudah bebas membuat pilihan dan berkarya seluas-luasnya, tapi tidak bisa dipungkiri kalau ternyata masih banyak yang terkurung dalam perbudakan “tidak punya pilihan”, Paksaan mengikuti aturan yang dibuat sepihak, pernikahan di bawah umur dan paksaan situasi, kekerasan verbal hingga fisik dari laki-laki terdekat yang disebut suami atau ayah sendiri, dilarang bersekolah dan dibatasi bermimpi karena dianggap tidak akan berguna di masa depan, hingga yang paling klise, dipersalahkan karena tidak dapat memberi keturunan. 

Perbudakan kekerasan baik verbal dan fisik bahkan masih banyak terjadi di dalam keluarga dan meluas hingga kini sesama anak perempuan pun saling menindas. Masih segar di ingatan kisah perundungan remaja putri di kalimantan yang sempat viral dan membuat orang-orang berduyun duyun memasang aksi “Justice for A” lengkap dengan berlapis hashtag di media sosial. Usut punya usut ternyata cerita yang menyeruak tidak sepenuhnya sejalan dengan fakta, A yang merupakan korban juga berikutnya dituduh sebagai pelaku dan dalang dari perundungannya. Lantas netizen-netizen maha benar kemudian mengubah hashtag ikut mempersalahkan A. Lucu ya negeri ini? Buatku bukan cuma lucu tapi konyol. Kalau untuk urusan sosial media agaknya susah untuk mengontrol omongan orang lain, semua orang punya hak mengemukakan pendapat di media sosialnya masing-masing, tapi yang menyedihkan itu ketika omongan di media sosial tak lebih dari sekedar hoax dan bacot ngasal. Sebentar rame-rame pasang hashtag A, sebentar lagi ikut hashtag B, tanpa pernah mau tau fakta sebelum ngepost sesuatu. Lagi hype SJW alias Social Justice Warrior di media sosial, semua berubah jadi pahlawan instan dan dengan bangganya “memanfaatkan” penderitaan orang lain demi kepentingan likes dan subscribers. 

Balik ke cerita A yang menurutku ga sesederhana dia dibully atau dia yang mancing supaya dibully. Perundungan atau bullying itu lebih dari sekedar tindakan, ada banyak hal yang melatarbelakangi seorang anak sampai dia bisa tega melakukan perundungan. Penyelesaiannya juga ga sesederhana dihukum layaknya orang dewasa. Mereka semua yang terlibat dalam perundungan menurutku adalah korban yang harus ditolong dan bukan dipersalahkan dan dibenarkan. Menurut beberapa jurnal, anak-anak cenderung membully karena mereka mencari perhatian dan mencoba membuat diri mereka terlihat lebih penting dan terlihat lebih berkuasa. Kebanyakan anak yang melakukan perundungan telah lebih dulu melihat atau mengalami langsung kekerasan di lingkungan sekitarnya termasuk kekerasan di rumah. Tanpa disadari mereka adalah produk dari kejamnya lingkungan sekitar mereka. Miris rasanya melihat sesama perempuan saling membantai satu dengan yang lain, miris bukan karena mereka saling menyakiti tapi miris karena mereka tidak tau kalau diri mereka berharga. 

Seandainya tiap perempuan tau betapa berharganya diri mereka pasti tidak akan ada yang semudah itu melemparkan kata-kata yang merendahkan perempuan lainnya. Teringat kampanye Hari Perempuan Sedunia beberapa bulan lalu yang mengangkat tema “Balance for Better” tentang kesetaraan hak perempuan dan laki-laki yang menurutku masih akan sangat sulit untuk dicapai khususnya di Indonesia. Semua berlomba menyerukan penyetaraan bahkan yang sekarang terlihat bukan lagi berkampanye tentang penyetaraan tapi lebih mengekspos kalau wanita tidak kalah kuat atau wanita lebih kuat, wanita bisa tanpa pria, wanita lebih superior, dsb. Social media jadi ajang empowering yang (menurutku) ga relate dengan kondisi. Ga usah capek-capek ngomongin penyetaraan kalau ternyata belum semua perempuan tau tentang betapa berharga dirinya. Kadang aku berpikir kenapa kaum-kaum SJW semudah itu berkoar-koar menuntut penyetaraan gender yang (seringnya) terdengar sebagai arogansi gender, mungkin mereka lebih fokus pada hidup perempuan di kota-kota besar sampai lupa kalau masih ada ribuan perempuan di pelosok kampung yang bahkan ga pernah tau tentang arti, hak, kewajiban, dan apapun itu tentang perempuan. 

Perempuan-perempuan di pelosok  masih sangat banyak yang terbungkus dalam adat istiadat dan berbagai keterbatasan, ibaratnya yang mungkin mereka ketahui tentang “Perempuan” hanyalah berarti sebuah identitas penanda jenis kelamin. Sedih gak sih? Beberapa hari setelah memulai tugas di Sumba, tak pernah terbayangkan olehku kalau angka kejadian pelecehan seksual di kabupaten ini cukup tinggi. Setahun lalu bekerja di Flores tapi hampir ga pernah menemukan kasus seperti disini. Yang kutau NTT termasuk provinsi dengan angka kriminal rendah ternyata di Sumba tersimpan banyak cerita pilu dari perempuan-perempuan berbagai usia. Hampir tiap minggu akan ada perempuan datang ke IGD disertai dengan permintaan visum pelecehan / persetubuhan, mirisnya lagi umur mereka kebanyakan masih belasan tahun. Ada yang datang karena diperkosa tetangga, ada yang datang dalam keadaan hamil besar (bahkan ada yang datang di H-2 persalinan) demi  mencari pengakuan, ada juga yang datang karena merasa dilecehkan setelah berhubungan badan dengan pacarnya, ada yang datang karena dijebak sahabatnya hingga akhirnya diperkosa sekumpulan pria, hingga ada yang datang karena diperkosa ayah tirinya. Sedih dan marah tiap mendengar cerita dan alasan dibalik tiap visum, rasanya ingin menyumpah dan mempersalahkan pelaku tapi bila kurunut kembali sesungguhnya perempuan-perempuan ini adalah korban dari ketidakmengertian mereka terhadap harga dirinya. 

Seandainya sejak kecil mereka tau tentang betapa berharganya tubuh dan jati diri mereka, mungkin ga akan ada cerita-cerita penuh penyesalan seperti itu.  Perempuan-perempuan di (berbagai pelosok) negeri ini masih butuh lebih banyak penyadaran dan penguatan nyata yang lebih dari sekedar aksi kampanye penyetaraan atau apapun itu. 

Maafkan aku yang ngomel-ngomel curhat colongan panjang lebar serta membosankan disini, sampai sekarang masih terus berpikir tentang hal sederhana apa yang bisa dilakukan di tempat nun jauh ini, hal yang setidaknya bisa mengingatkan perempuan (terutama anak-anak perempuan) disini tentang betapa berharganya mereka. Miris tapi harus tetap semangat menguatkan dan memberdayakan semua perempuan di sekitar. Nguatin bukan Julid-in, biar ga beraninya ngomel omdo di sosial media aja hahaha. Spread Love & tell them They Are Worthy 

Here i'm copying my favorite words from the book itself "Because the society has no chance of success if its women are uneducated" From Baba to little Laila.

Cheers,
penydamanik

Comments

Popular posts from this blog

Symphony Of the Tiny Cloud

my last high school day :_(

collecting the expressions